.

Jumat, 27 Desember 2013

TUGAS KE-3 ILMU BUDAYA DASAR


KEBUDAYAAN UPACARA PERNIKAHAN ADAT JAWA TENGAH







Disusun Oleh :

MARLINA DWI RESTIHANI
35413302
1 ID 06


FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013


Ilmu Budaya Dasar
Apipudin, S.Th.I.,MA.Hum






KATA PENGANTAR




Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada waktunya. Dalam penyelesaian tugas ini, saya telah berusaha untuk dapat memberikan serta mencapai hasil yang semaksimal mungkin dan sesuai dengan harapan.
Maka dari itu, saya ingin mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.
Semoga apa yang disajikan dalam tulisan ini dapat bermanfaat bagi saya dan semua pihak yang telah membaca.









Depok, 28 Desember 2013    
Hormat saya,              




      Marlina Dwi Restihani
NPM: 36413399        



















BAB I
PENDAHULUAN



1.1      Latar Belakang


Pernikahan Jawa merupakan budaya warisan yang sarat makna. Karena itu, perkembangan kebudayaan Jawa merupakan keniscayaan yang menarik diamati. Sebab, dalam paradigma masyarakat Jawa, perkawinan bukan sebatas proses legalisasi hubungan antara laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, perkawinan merupakan penyatuan dua keluarga yang didasari unsur pelestarian tradisi. Karena itu masyarakat Jawa sering menggunakan beragam pertimbangan, dari bibit (latar belakang keluarga yang baik), bebet (mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga), dan bobot (berkualitas, bermental baik, bertanggung jawab, dan berpendidikan cukup).
Dalam setahun, misalnya, kita kerap menghadiri undangan perkawinan teman, relasi, atau kerabat yang semua orang Jawa. Namun hampir semua menggunakan konsep resepsi yang mencitrakan manusia modern: standing party, yang didesain event organizer (EO). Jarang sekali ditampilkan tradisi, baik berupa simbol maupun upacara yang dianggap sakral dari adat Jawa. [1]


1.1      Rumusan Masalah

1.      Apa pengertian kebudayaan?
2.      Apa pengertian pernikahan?
3.      Bagaimana rangkaian pernikahan adat jawa tengah?
4.      Apa filosofi dari ritual upacara adat penganten jawa tengah?


1.2    Tujuan
  
Agar mengetahui berbagai macam rangkaian pernikahan dan filosofi upacara adat Jawa Tengah.


1.3    Manfaat

Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui hubungan upacara penikahan dengan kebudayaan.







BAB II
KEBUDAYAAN DAN UPACARA PERNIKAHAN



2.1 Pengertian Kebudayaan

Kebudayaan adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. [2]


2.2 Pengertian Pernikahan

 Pernikahan atau adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum, dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial. Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Pengesahan secara hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku, dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga. 
Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan. [3]

2.3 Rangkaian Pernikahan

2.3.1  Serah-Serahan



            Setelah dicapai kata sepakat oleh kedua belah pihak orang tua tentang perjodohan putra-putrinya, maka dilakukanlah 'serah-serahan' atau disebut juga 'pasoj tukon'. Dalam kesempatan ini pihak keluarga calon mempelai putra menyerahkan barang-barang tertentu kepada calon mempelai putri sebagai 'peningset', artinya tanda pengikat. Umumnya berupa pakaian lengkap, sejumlah uang, dan adakalanya disertai cincin emas buat keperluan 'tukar cincin'.

2.3.2 Pingitan

Saat-saat menjelang perkawinan, bagi calon mempelai putri dilakukan 'pingitan' atau 'sengkeran' selama lima hari, yang ada pada perkembangan selanjutnya hanya cukup tiga hari saja. Selama itu calon mempelai putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon  mempelai putra. Seluruh tubuh pengantin putri dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan pula berpuasa. Tujuannya agar pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri tampil cantik sehingga membuat pangling orang yang menyaksikannya.

2.3.3 Pasang Bleketepe/ Tarup

Upacara pasang 'tarup' diawalkan dengan pemasangan 'bleketepe' (anyaman daun kelapa) yang dilakukan oleh orangtua calon mempelai putri, yang ditandai pula dengan pengadaan  sesajen. Tarup adalah bangunan darurat yang dipakai selama upacara berlangsung. Pemasangannya memiliki persyaratan khusus yang mengandung makna religius, agar rangkaian upacara berlangsung dengan selamat tanpa adanya hambatan. Hiasan tarup, terdiri dari daun-daunan dan buah-buahan yang disebut 'tetuwuhan' yang  memiliki nilai-nilai simbolik.

2.3.4 Siraman

Makna upacara ini, secara simbolis merupakan persiapan dan pembersihan diri lahir batin kedua calon mempelai yang dilakukan dirumah masing-masing. Juga merupakan media permohonan doa restu dari para pinisepuh. Peralatan yang dibutuhkan, kembang setaman, gayung, air yang diambil dari 7 sumur, kendi dan bokor.
Orangtua calon mempelai putri mengambil air dari 7 sumur, lalu dituangkan ke wadah kembang setaman. Orangtua calon mempelai putri mengambil air 7 gayung untuk diserahkan kepada panitia yang akan mengantarnya ke kediaman calon mempelai putra. Upacara ini dimulai dengan sungkeman kepada orangtua calon pengantin serta para pini sepuh.
Siraman dilakukan pertama kali oleh orangtua calon pengantin, dilanjutkan oleh para pinih sepuh, dan terakhir oleh ibu calon mempelai mempelai putri, menggunakan kendi yang kenudian dipecahkan ke lantai sembari mengucapkan, "Saiki wis pecah pamore" ("Sekarang sudah pecah pamornya").

2.3.5 Paes/ Ngerik


Setelah siraman, dilakukan upacara ini, yakni sebagai lambang upaya memperindah diri secara lahir dan batin. 'Paes' (Rias)nya baru pada tahap 'ngalub-alubi' (pendahuluan), untuk memudahkan paes selengkapnya pada saat akan dilaksanakan temu. Ini dilakukan dikamar calon mempelai putri, ditunggui oleh para ibu pini sepuh.
Sembari menyaksikan paes, para ibu memberikan restu serta memanjatkan do'a agar dalam upacara pernikahan nanti berjalan lancar dan khidmat. Dan semoga kedua mempelai nanti saat berkeluarga dan menjalani kehidupan dapat rukun 'mimi lan mintuno', dilimpahi keturunan dan rezeki.

2.3.5 Dodol Dawet



Prosesi ini melambangkan agar dalam upacara  pernikahan yang akan dilangsungkan, diknjungi para tamu yang melimpah bagai cendol dawet yang laris terjual. dalam upacara ini, ibu calon mempelai putri bertindak sebagai penjual dawet, didampingi dan dipayungi oleh bapak calon mempelai putri, sambil mengucapkan : "Laris...laris". 'Jual dawet' ini dilakukan dihalaman rumah. Keluarga. kerabat adalah pembeli dengan pembayaran 'kreweng' (pecahan genteng)
Selanjutnya adalah 'potong tumpeng' dan 'dulangan'. Maknanya, 'ndulang' (menyuapi) untuk yang terakhir kali bagi putri yang akan menikah. Dianjurkan dengan melepas 'ayam dara' diperempatan jalan oleh petugas, serta mengikat 'ayam lancur'  dikaki kursi mempelai putri. Ini diartikan sebagai simbol melepas sang putri yang akan mengarungi bahtera perkawinan.
Upacara berikutnya, 'menanam rikmo' mempelai putri dihalaman depan dan 'pasang tuwuhan' (daun-daunan dan buah-buahan tertentu). Maknanya adalah 'mendem sesuker', agar kedua mempelai dijatuhkan dari kendala yang menghadang dan dapat meraih kebahagiaan.

2.3.6 Midodareni

Ini adalah malam terakhir bagi kedua calon mempelai sebagai bujang dan dara sebelum melangsungkan pernikahan ke esokan harinya. Ada dua tahap upacara di kediaman  calon mempelai  putri. Tahap pertama, upacara 'nyantrik', untuk  meyakinkan bahwa calon mempelai putra akan hadir pada upacara pernikahan yang waktunya sudah ditetapkan. Kedatangan calon mempelai putra diantar oleh wakil orangtua, para sepuh, keluarga serta kerabat untuk menghadap calon mertua.
Tahap kedua, memastikan bahwa keluarga calon mempelai putri sudah siap melaksanakan prosesi pernikahan dan upacara 'panggih' pada esok harinya. Pada malam tersebut, calon mempelai putri sudah dirias sebagaimana layaknya. Setelah menerima doa restu dari para hadirin, calon mempelai putri diantar kembali masuk ke dalam kamar pengantin, beristirahat buat persiapan upacara esok hari. Sementara para pni sepuh, keluarga dan kerabat bisa melakukan 'lek-lekan' atau 'tuguran', dimaksudkan untuk mendapat rahmat Tuhan agar seluruh rangkaian upacara berjalan lancar dan selamat.

2.3.7 Pernikahan

Pernikahan, merupakan upacara puncak yang dilakukan menurut keyakinan agama si calon mempelai. Bagi pemeluk Islam, pernikahan bisa dilangsungkan di masjid atau di kediaman calon mempelai putri. Bagi pemeluk Kristen dan Katolik, pernikahan bisa dilangsungkan di gereja.
Ketiga pernikahan berlangsung, mempelai putra tidak diperkenankan memakai keris. Setelah upacara pernikahan selesai, barulah dilangsungkan upacara adat, yakni upacara 'panggih' atau 'temu'.

2.3.8 Panggih (Temu)


Sudah menjadi tradisi, prosesi ini berurutan secara tetap, tapi dimungkinkan hanya dengan penambahan variasi sesuai kekhasan daerah di Jawa Tengah. Diawali dengan kedatangan rombongan mempelai putra yang membawa 'sanggan', berisi 'gedang ayu suruh ayu', melambangkan keinginan untuk selamat atau 'sedya rahayu'. sanggan tersebut diserahkan kepada ibu mertua sebagai penebus.    
Upacara dilanjutkan dengan penukaran 'kembang mayang'. Konon, segala peristiwa yang menyangkut suatu formalitas peresmian ditengah masyarakat, perlu kesaksian. Fungsi kembang mayang, konon sebagai saksi dan sebagai penjaga serta penangkal (tolak bala). Setelah berlangsungnya upacara, kembang mayang tersebut ditaruh di perempatan jalan, yang bermakna bahwa  setiap orang yang melewati jalan itu, menjadi tahu bahwa di daerah itu baru saja berlangsung upacara perkawinan. 'Panggih' atau 'temu' adalah dipertemukannya mempelai putri dan mempelai putra, yang berlangsung sebagai berikut :

2.3.8.1 Balangan gantal/ Sirih


Mempelai putri dan mempelai putra dibimbing menuju 'titik panggih'. Pada jarak lebih kurang lima langkah, masing-masing mempelai saling melontarkan sirih atau gantal yang telah disiapkan. Arah lemparan mempelai putra diarahkan ke dada mempelai putri, sedangkan mempelai putri mengarahkannya ke paha mempelai putra. Ini sebagai lambang cinta kasih suami terhadap istrinya, dan si istri pun menunjukan baktinya kepada sang suami.

2.3.8.2 Wijik

Mempelai putra menginjak telur ayam hingga pecah. Lalu mempelai putri membasuh kaki mempelai putra dengan air kembang setaman, yang kemudian dikeringkan dengan handuk. Prosesi ini malambangkan kesetiaan istri kepada suami. Yakni, istri selalu berbakti dengan sengan hati dan bisa memaafkan segala hal yang kurang baik yang dilakukan suami. Setelah wijik dilanjutkan dengan 'pageran', maknanya agar suami bisa betah di rumah. Lalu diteruskan dengan sembah sungkem mempelai putri kepada mempelai putra.

2.3.8.4 Pupuk

Ibu mempelai putri mengusap ubun-ubun mempelai putra sebanyak tiga kali dengan air kembang setaman. Ini sebagai lambang penerimaan secara ikhlas terhadap menantunya sebagai suami dari putrinya.

2.3.8.5 Sinduran/ Binayang


Prosesi ini menyampirkan kain sindur yang berwarna merah ke pundak kedua mempelai (memperlai putra di sebelah kanan) oleh bapak dan ibu mempelai putri. Saat berjalan perlaham-lahan menuju pelaminan dengan iringan gending, Paling depan di awali bapak mempelai putri mengiringi dari belakang dengan memegangi kedua ujung sindur. Prosesi ini menggambarkan betapa kedua mempelai telah diterima keluarga besar secara utuh, penuh kasih sayang tanpa ada perbedaan anatara anak kandung dan menantu.

 2.3.8.6 Bobot Timbang


Kedua mempelai duduk dipangkuan bapak mempelai putri. Mempelai putri berada dipaha sebelah kiri, mempelai putra dipaha sebelah kanan. Upacara ini disertai dialog antara ibu dan bapak mempelai putri. "Abot endi bapakne?" ("Berat yang mana, Pak) kata sang ibu. "Podo, podo abote," ("Sama beratnya") sahut sang bapak. Makna dari upacara ini adalah kasih sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama besar dan beratnya.

2.3.8.9 Guno Koyo - Kacar-kucur


Pemberian 'guno koyo' atau 'kacar-kucur' ini melambangkan pemberian nafkah yang pertama kali dari suami kepada istri. Yakni berupa : kacang tolo merah, keledai hitam, beras putih, beras kuning dan kembang telon ditaruh didalam 'klasa bongko' oleh mempelai putra yang dituangkan ke pangkuan mempelai putri. Di pangkuan mempelai putri sudah disiapkan serbet atau sapu tangan yang besar. Lalu guno koyo dan kacar-kucur dibungkus oleh mempelai putri dan disimpan.

2.4 Filosofi dari Upacara Ritual dan Adat Penganten  Jawa Tengah

Indonesia memang sungguh kaya akan ragam budaya, tak hanya ragam budaya milik suku-suku yang ada, keragaman bahkan ada juga dalam internal adat-istiadat satu suku yang sama. Salah satu kekayaan ragam budaya yang ada adalah upacara pernikahan, yang lebih khusus lagi adalah tata rias pengantinnya.
Konde yang dipakai oleh pengantin wanita dibentuk asimetris. Bagian kiri lebih besar dari bagian kanan. Bentuknya pun lebar, sehingga konde ini disebut sebagai “konder”, akronim dari “konde omber” (konde lebar). Karena emang konde ini harus memuat bunga hiasan yang terdiri dari bunga mawar, kantil, dan kenanga.
bunga kantil dan kenanga ini juga melambangkan sesuatu dalam falsafah Jawa. Bunga kantil digunakan karena kantil yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai “ikut”, atau “terkait”. Hal ini mengandung falsafah bahwa seorang pria dan wanita menjadi terkait satu dengan yang lain dalam upacara pernikahan. Mereka tak lagi dua, tapi menjadi satu dalam satu keluarga batih, sedangkan bunga kenanga melambangkan bahwa perkawinan ini akan selalu menjadi kenangan, bahkan sampai kelak anak cucu mereka.
Jarit atau jarik yang digunakan oleh pengantin biasanya mengambil motif yang disebut dengan awalan “sido”, entah itu sido drajat, sido mukti, atau sido lainnya, tapi, ada satu jenis jarik motif sido ini yang tidak boleh digunakan saat upacara pernikahan, yaitu sido luhur. Motif ini tidak boleh digunakan karena memang motif sido luhur ini khusus digunakan untuk menutupi jenazah. Seperti apa motif jarik “sido” ini dapat temen2 lihat pada gambar.
Busana pengantin Jawa juga dilengkapi oleh begitu banyak aksesoris, terutama pengantin putrinya, tapi ada satu aksesoris yang tak boleh lupa dikenakan oleh pengantin pria. Aksesoris tersebut adalah hiasan rantai pada beskap dengan bandul taring macan. Penggunaan taring raja hutan ini menjadi lambang bahwa pria Banyumas adalah pria-pria yang berani, terutama saat menjadi “raja” atau kepala rumah tangga. Berani di sini jangan disama artikan dengan berani sama istri lho ya, hahahaha… Berani di sini lebih mengacu kepada tanggung jawab dalam menafkahi istri dan keluarganya baik lahir maupun batin. Oh iya, beskap pengantin pria biasanya mempunyai model yang disebut “kucing anjlog” (kucing terjun). Karena memang potongan bagian bawah beskap yang menurun pada bagian depan.
Seperti budaya Jawa lain yang kental perlambang, makna, dan filosofi, busana pengantin Jawa pada umumnya juga mengandung filosofi. Satu filosofi yang sangat bersifat spiritual ada pada jumlah aksesoris yang dipakai oleh pengantin. Seluruh aksesoris, mulai dari bunga hiasan konde, bunga Angka-angka itu mengandung filosofi spiritual yang kental dipengaruhi agama Islam yang resmi dianut oleh kerajaan Mataram Islam. Angka 3 melambangkan jumlah alam yang pernah atau akan dihuni oleh manusia, yaitu alam rahim atau kandungan, alam fana atau dunia, serta alam baka. Angka 5 melambangkan jumlah dunia yang dikenal oleh orang yang berusia sebelum akhil baliq, yaitu kandungan, fana, hewan, tumbuhan, serta baka. Sedangkan saat orang itu menginjak usia akhil baliq, saat mereka mulai dewasa, dan  mengenal godaan-godaan dunia, mereka akan mengenal 2 alam lagi, yaitu alam setan dan alam malaikat, yang akhirnya akan menambah angka keseluruhan menjadi 7 alam atau dunia yang dekat dengan manusia tersebut.ronce, cundhuk mentul, sampai kalung yang digunakan semuanya pasti berjumlah 3, 5, atau 7. [4]
































BAB III
PENUTUP


3.1 Kesimpulan

            Upacara pernikahan merupakan upacara yang sakral dan memiliki unsur kebudayaan, salah satunya upacara pernikahan adat Jawa Tengah yang dilakukan dengan hikmat dan sakral dalam rangkaiannya.

3.2 Saran

            Kita sebagai generasi muda penerus bangsa, harus melestarikan budaya negara kita sendiri, contohnya melaksanakan upacara pernikahan adat.
           
Sumber: