KEBUDAYAAN UPACARA PERNIKAHAN ADAT JAWA TENGAH
Disusun Oleh :
MARLINA DWI RESTIHANI
35413302
1 ID 06
FAKULTAS TEKNOLOGI INDUSTRI
PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI
UNIVERSITAS GUNADARMA
2013
Ilmu Budaya Dasar
Apipudin, S.Th.I.,MA.Hum
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas
segala rahmat dan karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas ini tepat pada
waktunya. Dalam penyelesaian tugas ini, saya telah berusaha untuk dapat memberikan
serta mencapai hasil yang semaksimal mungkin dan sesuai dengan harapan.
Maka dari itu, saya ingin mengucapkan terima kasih
kepada semua pihak yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.
Semoga apa yang disajikan dalam tulisan ini dapat
bermanfaat bagi saya dan semua pihak yang telah membaca.
Depok, 28 Desember 2013
Hormat saya,
Marlina Dwi Restihani
NPM: 36413399
BAB I
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Pernikahan Jawa
merupakan budaya warisan yang sarat makna. Karena itu, perkembangan kebudayaan
Jawa merupakan keniscayaan yang menarik diamati. Sebab, dalam paradigma
masyarakat Jawa, perkawinan bukan sebatas proses legalisasi hubungan antara
laki-laki dan perempuan. Lebih dari itu, perkawinan merupakan penyatuan dua
keluarga yang didasari unsur pelestarian tradisi. Karena itu masyarakat Jawa
sering menggunakan beragam pertimbangan, dari bibit (latar belakang keluarga
yang baik), bebet (mampu memenuhi kebutuhan rumah tangga), dan bobot (berkualitas,
bermental baik, bertanggung jawab, dan berpendidikan cukup).
Dalam setahun, misalnya, kita kerap menghadiri undangan
perkawinan teman, relasi, atau kerabat yang semua orang Jawa. Namun hampir
semua menggunakan konsep resepsi yang mencitrakan manusia modern: standing
party, yang didesain event organizer (EO). Jarang sekali ditampilkan tradisi,
baik berupa simbol maupun upacara yang dianggap sakral dari adat Jawa. [1]
1.1
Rumusan Masalah
1. Apa pengertian kebudayaan?
2. Apa pengertian pernikahan?
3. Bagaimana rangkaian pernikahan adat jawa tengah?
4. Apa filosofi dari ritual upacara adat penganten jawa
tengah?
1.2
Tujuan
Agar
mengetahui berbagai macam rangkaian pernikahan dan filosofi upacara adat Jawa
Tengah.
1.3
Manfaat
Diharapkan mahasiswa dapat mengetahui hubungan upacara
penikahan dengan kebudayaan.
BAB II
KEBUDAYAAN DAN UPACARA PERNIKAHAN
2.1
Pengertian Kebudayaan
Kebudayaan
adalah sesuatu yang akan memengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem
ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan
sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan
adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya,
berupa perilaku dan benda-benda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola
perilaku, bahasa, peralatan hidup, organisasi sosial, religi, seni, dan
lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan
kehidupan bermasyarakat. [2]
2.2 Pengertian Pernikahan
Pernikahan atau adalah upacara pengikatan janji nikah yang dirayakan atau dilaksanakan oleh
dua orang dengan maksud meresmikan ikatan perkawinan secara norma agama, norma hukum,
dan norma sosial. Upacara pernikahan memiliki banyak ragam dan variasi
menurut tradisi suku bangsa, agama, budaya, maupun kelas sosial.
Penggunaan adat atau aturan tertentu kadang-kadang
berkaitan dengan aturan atau hukum agama tertentu pula.
Pengesahan secara
hukum suatu pernikahan biasanya terjadi pada saat dokumen tertulis yang
mencatatkan pernikahan ditanda-tangani. Upacara pernikahan sendiri biasanya merupakan acara yang
dilangsungkan untuk melakukan upacara berdasarkan adat-istiadat yang berlaku,
dan kesempatan untuk merayakannya bersama teman dan keluarga.
Wanita dan pria yang sedang melangsungkan pernikahan
dinamakan pengantin, dan setelah upacaranya selesai kemudian mereka dinamakan suami dan istri dalam ikatan perkawinan.
[3]
2.3 Rangkaian Pernikahan
2.3.1 Serah-Serahan
Setelah dicapai kata sepakat oleh kedua belah pihak orang tua tentang perjodohan putra-putrinya, maka dilakukanlah 'serah-serahan' atau disebut juga 'pasoj tukon'. Dalam kesempatan ini pihak keluarga calon mempelai putra menyerahkan barang-barang tertentu kepada calon mempelai putri sebagai 'peningset', artinya tanda pengikat. Umumnya berupa pakaian lengkap, sejumlah uang, dan adakalanya disertai cincin emas buat keperluan 'tukar cincin'.
2.3.2 Pingitan
Saat-saat menjelang perkawinan, bagi calon mempelai
putri dilakukan 'pingitan' atau 'sengkeran' selama lima hari, yang ada pada
perkembangan selanjutnya hanya cukup tiga hari saja. Selama itu calon mempelai
putri dilarang keluar rumah dan tidak boleh bertemu dengan calon mempelai
putra. Seluruh tubuh pengantin putri dilulur dengan ramu-ramuan, dan dianjurkan
pula berpuasa. Tujuannya agar pada saat jadi pengantin nanti, mempelai putri
tampil cantik sehingga membuat pangling orang yang menyaksikannya.
2.3.3 Pasang
Bleketepe/ Tarup
Upacara pasang 'tarup' diawalkan dengan pemasangan
'bleketepe' (anyaman daun kelapa) yang dilakukan oleh orangtua calon mempelai
putri, yang ditandai pula dengan pengadaan sesajen. Tarup adalah bangunan
darurat yang dipakai selama upacara berlangsung. Pemasangannya memiliki
persyaratan khusus yang mengandung makna religius, agar rangkaian upacara
berlangsung dengan selamat tanpa adanya hambatan. Hiasan tarup, terdiri dari
daun-daunan dan buah-buahan yang disebut 'tetuwuhan' yang memiliki
nilai-nilai simbolik.
2.3.4 Siraman
Makna upacara ini, secara simbolis merupakan persiapan
dan pembersihan diri lahir batin kedua calon mempelai yang dilakukan dirumah
masing-masing. Juga merupakan media permohonan doa restu dari para pinisepuh.
Peralatan yang dibutuhkan, kembang setaman, gayung, air yang diambil dari 7
sumur, kendi dan bokor.
Orangtua calon mempelai putri mengambil air dari 7
sumur, lalu dituangkan ke wadah kembang setaman. Orangtua calon mempelai putri
mengambil air 7 gayung untuk diserahkan kepada panitia yang akan mengantarnya
ke kediaman calon mempelai putra. Upacara ini dimulai dengan sungkeman kepada
orangtua calon pengantin serta para pini sepuh.
Siraman dilakukan pertama kali oleh orangtua calon
pengantin, dilanjutkan oleh para pinih sepuh, dan terakhir oleh ibu calon
mempelai mempelai putri, menggunakan kendi yang kenudian dipecahkan ke lantai
sembari mengucapkan, "Saiki wis pecah pamore" ("Sekarang sudah
pecah pamornya").
2.3.5 Paes/
Ngerik
Setelah
siraman, dilakukan upacara ini, yakni sebagai lambang upaya memperindah diri
secara lahir dan batin. 'Paes' (Rias)nya baru pada tahap 'ngalub-alubi'
(pendahuluan), untuk memudahkan paes selengkapnya pada saat akan dilaksanakan
temu. Ini dilakukan dikamar calon mempelai putri, ditunggui oleh para ibu pini
sepuh.
Sembari
menyaksikan paes, para ibu memberikan restu serta memanjatkan do'a agar dalam
upacara pernikahan nanti berjalan lancar dan khidmat. Dan semoga kedua mempelai
nanti saat berkeluarga dan menjalani kehidupan dapat rukun 'mimi lan mintuno',
dilimpahi keturunan dan rezeki.
2.3.5 Dodol
Dawet
Prosesi ini
melambangkan agar dalam upacara pernikahan yang akan dilangsungkan,
diknjungi para tamu yang melimpah bagai cendol dawet yang laris terjual. dalam
upacara ini, ibu calon mempelai putri bertindak sebagai penjual dawet,
didampingi dan dipayungi oleh bapak calon mempelai putri, sambil mengucapkan :
"Laris...laris". 'Jual dawet' ini dilakukan dihalaman rumah.
Keluarga. kerabat adalah pembeli dengan pembayaran 'kreweng' (pecahan genteng)
Selanjutnya
adalah 'potong tumpeng' dan 'dulangan'. Maknanya, 'ndulang' (menyuapi) untuk
yang terakhir kali bagi putri yang akan menikah. Dianjurkan dengan melepas
'ayam dara' diperempatan jalan oleh petugas, serta mengikat 'ayam lancur'
dikaki kursi mempelai putri. Ini diartikan sebagai simbol melepas sang putri
yang akan mengarungi bahtera perkawinan.
Upacara
berikutnya, 'menanam rikmo' mempelai putri dihalaman depan dan 'pasang tuwuhan'
(daun-daunan dan buah-buahan tertentu). Maknanya adalah 'mendem sesuker', agar
kedua mempelai dijatuhkan dari kendala yang menghadang dan dapat meraih
kebahagiaan.
2.3.6 Midodareni
Ini adalah
malam terakhir bagi kedua calon mempelai sebagai bujang dan dara sebelum
melangsungkan pernikahan ke esokan harinya. Ada dua tahap upacara di
kediaman calon mempelai putri. Tahap pertama, upacara 'nyantrik',
untuk meyakinkan bahwa calon mempelai putra akan hadir pada upacara
pernikahan yang waktunya sudah ditetapkan. Kedatangan calon mempelai putra
diantar oleh wakil orangtua, para sepuh, keluarga serta kerabat untuk menghadap
calon mertua.
Tahap kedua,
memastikan bahwa keluarga calon mempelai putri sudah siap melaksanakan prosesi
pernikahan dan upacara 'panggih' pada esok harinya. Pada malam tersebut, calon
mempelai putri sudah dirias sebagaimana layaknya. Setelah menerima doa restu
dari para hadirin, calon mempelai putri diantar kembali masuk ke dalam kamar
pengantin, beristirahat buat persiapan upacara esok hari. Sementara para pni
sepuh, keluarga dan kerabat bisa melakukan 'lek-lekan' atau 'tuguran',
dimaksudkan untuk mendapat rahmat Tuhan agar seluruh rangkaian upacara berjalan
lancar dan selamat.
2.3.7 Pernikahan
Pernikahan,
merupakan upacara puncak yang dilakukan menurut keyakinan agama si calon
mempelai. Bagi pemeluk Islam, pernikahan bisa dilangsungkan di masjid atau di
kediaman calon mempelai putri. Bagi pemeluk Kristen dan Katolik, pernikahan
bisa dilangsungkan di gereja.
Ketiga
pernikahan berlangsung, mempelai putra tidak diperkenankan memakai keris.
Setelah upacara pernikahan selesai, barulah dilangsungkan upacara adat, yakni
upacara 'panggih' atau 'temu'.
2.3.8 Panggih
(Temu)
Sudah
menjadi tradisi, prosesi ini berurutan secara tetap, tapi dimungkinkan hanya
dengan penambahan variasi sesuai kekhasan daerah di Jawa Tengah. Diawali dengan
kedatangan rombongan mempelai putra yang membawa 'sanggan', berisi 'gedang ayu
suruh ayu', melambangkan keinginan untuk selamat atau 'sedya rahayu'. sanggan
tersebut diserahkan kepada ibu mertua sebagai penebus.
Upacara
dilanjutkan dengan penukaran 'kembang mayang'. Konon, segala peristiwa yang
menyangkut suatu formalitas peresmian ditengah masyarakat, perlu kesaksian.
Fungsi kembang mayang, konon sebagai saksi dan sebagai penjaga serta penangkal
(tolak bala). Setelah berlangsungnya upacara, kembang mayang tersebut ditaruh
di perempatan jalan, yang bermakna bahwa setiap orang yang melewati jalan
itu, menjadi tahu bahwa di daerah itu baru saja berlangsung upacara perkawinan.
'Panggih' atau 'temu' adalah dipertemukannya mempelai putri dan mempelai putra,
yang berlangsung sebagai berikut :
2.3.8.1 Balangan gantal/ Sirih
Mempelai
putri dan mempelai putra dibimbing menuju 'titik panggih'. Pada jarak lebih
kurang lima langkah, masing-masing mempelai saling melontarkan sirih atau
gantal yang telah disiapkan. Arah lemparan mempelai putra diarahkan ke dada
mempelai putri, sedangkan mempelai putri mengarahkannya ke paha mempelai putra.
Ini sebagai lambang cinta kasih suami terhadap istrinya, dan si istri pun
menunjukan baktinya kepada sang suami.
2.3.8.2 Wijik
Mempelai
putra menginjak telur ayam hingga pecah. Lalu mempelai putri membasuh kaki
mempelai putra dengan air kembang setaman, yang kemudian dikeringkan dengan
handuk. Prosesi ini malambangkan kesetiaan istri kepada suami. Yakni, istri
selalu berbakti dengan sengan hati dan bisa memaafkan segala hal yang kurang
baik yang dilakukan suami. Setelah wijik dilanjutkan dengan 'pageran', maknanya
agar suami bisa betah di rumah. Lalu diteruskan dengan sembah sungkem mempelai
putri kepada mempelai putra.
2.3.8.4 Pupuk
Ibu mempelai
putri mengusap ubun-ubun mempelai putra sebanyak tiga kali dengan air kembang
setaman. Ini sebagai lambang penerimaan secara ikhlas terhadap menantunya
sebagai suami dari putrinya.
2.3.8.5 Sinduran/
Binayang
Prosesi ini
menyampirkan kain sindur yang berwarna merah ke pundak kedua mempelai
(memperlai putra di sebelah kanan) oleh bapak dan ibu mempelai putri. Saat
berjalan perlaham-lahan menuju pelaminan dengan iringan gending, Paling depan
di awali bapak mempelai putri mengiringi dari belakang dengan memegangi kedua
ujung sindur. Prosesi ini menggambarkan betapa kedua mempelai telah diterima
keluarga besar secara utuh, penuh kasih sayang tanpa ada perbedaan anatara anak
kandung dan menantu.
2.3.8.6 Bobot Timbang
Kedua mempelai duduk dipangkuan bapak mempelai putri. Mempelai putri berada
dipaha sebelah kiri, mempelai putra dipaha sebelah kanan. Upacara ini disertai
dialog antara ibu dan bapak mempelai putri. "Abot endi bapakne?"
("Berat yang mana, Pak) kata sang ibu. "Podo, podo abote,"
("Sama beratnya") sahut sang bapak. Makna dari upacara ini adalah
kasih sayang orangtua terhadap anak dan menantu sama besar dan beratnya.
2.3.8.9 Guno
Koyo - Kacar-kucur
Pemberian
'guno koyo' atau 'kacar-kucur' ini melambangkan pemberian nafkah yang pertama
kali dari suami kepada istri. Yakni berupa : kacang tolo merah, keledai hitam,
beras putih, beras kuning dan kembang telon ditaruh didalam 'klasa bongko' oleh
mempelai putra yang dituangkan ke pangkuan mempelai putri. Di pangkuan mempelai
putri sudah disiapkan serbet atau sapu tangan yang besar. Lalu guno koyo dan
kacar-kucur dibungkus oleh mempelai putri dan disimpan.
2.4 Filosofi
dari Upacara Ritual dan Adat Penganten Jawa
Tengah
Indonesia
memang sungguh kaya akan ragam budaya, tak hanya ragam budaya milik suku-suku
yang ada, keragaman bahkan ada juga dalam internal adat-istiadat satu suku yang
sama. Salah satu kekayaan ragam budaya yang ada adalah upacara pernikahan, yang
lebih khusus lagi adalah tata rias pengantinnya.
Konde yang
dipakai oleh pengantin wanita dibentuk asimetris. Bagian kiri lebih besar dari
bagian kanan. Bentuknya pun lebar, sehingga konde ini disebut sebagai “konder”,
akronim dari “konde omber” (konde lebar). Karena emang konde ini harus memuat
bunga hiasan yang terdiri dari bunga mawar, kantil, dan kenanga.
bunga kantil
dan kenanga ini juga melambangkan sesuatu dalam falsafah Jawa. Bunga kantil
digunakan karena kantil yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan sebagai
“ikut”, atau “terkait”. Hal ini mengandung falsafah bahwa seorang pria dan
wanita menjadi terkait satu dengan yang lain dalam upacara pernikahan. Mereka
tak lagi dua, tapi menjadi satu dalam satu keluarga batih, sedangkan bunga
kenanga melambangkan bahwa perkawinan ini akan selalu menjadi kenangan, bahkan
sampai kelak anak cucu mereka.
Jarit atau
jarik yang digunakan oleh pengantin biasanya mengambil motif yang disebut
dengan awalan “sido”, entah itu sido drajat, sido mukti, atau sido lainnya,
tapi, ada satu jenis jarik motif sido ini yang tidak boleh digunakan saat
upacara pernikahan, yaitu sido luhur. Motif ini tidak boleh digunakan karena
memang motif sido luhur ini khusus digunakan untuk menutupi jenazah. Seperti
apa motif jarik “sido” ini dapat temen2 lihat pada gambar.
Busana
pengantin Jawa juga dilengkapi oleh begitu banyak aksesoris, terutama pengantin
putrinya, tapi ada satu aksesoris yang tak boleh lupa dikenakan oleh pengantin
pria. Aksesoris tersebut adalah hiasan rantai pada beskap dengan bandul taring
macan. Penggunaan taring raja hutan ini menjadi lambang bahwa pria Banyumas
adalah pria-pria yang berani, terutama saat menjadi “raja” atau kepala rumah
tangga. Berani di sini jangan disama artikan dengan berani sama istri lho ya,
hahahaha… Berani di sini lebih mengacu kepada tanggung jawab dalam menafkahi
istri dan keluarganya baik lahir maupun batin. Oh iya, beskap pengantin pria
biasanya mempunyai model yang disebut “kucing anjlog” (kucing terjun). Karena
memang potongan bagian bawah beskap yang menurun pada bagian depan.
Seperti
budaya Jawa lain yang kental perlambang, makna, dan filosofi, busana
pengantin Jawa pada umumnya juga mengandung filosofi. Satu filosofi yang sangat
bersifat spiritual ada pada jumlah aksesoris yang dipakai oleh pengantin.
Seluruh aksesoris, mulai dari bunga hiasan konde, bunga Angka-angka itu
mengandung filosofi spiritual yang kental dipengaruhi agama Islam yang resmi
dianut oleh kerajaan Mataram Islam. Angka 3 melambangkan jumlah alam yang
pernah atau akan dihuni oleh manusia, yaitu alam rahim atau kandungan, alam
fana atau dunia, serta alam baka. Angka 5 melambangkan jumlah dunia yang
dikenal oleh orang yang berusia sebelum akhil baliq, yaitu kandungan, fana, hewan,
tumbuhan, serta baka. Sedangkan saat orang itu menginjak usia akhil baliq, saat
mereka mulai dewasa, dan mengenal godaan-godaan dunia, mereka akan
mengenal 2 alam lagi, yaitu alam setan dan alam malaikat, yang akhirnya akan
menambah angka keseluruhan menjadi 7 alam atau dunia yang dekat dengan manusia
tersebut.ronce, cundhuk mentul, sampai kalung yang digunakan semuanya pasti
berjumlah 3, 5, atau 7. [4]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Upacara pernikahan merupakan upacara
yang sakral dan memiliki unsur kebudayaan, salah satunya upacara pernikahan
adat Jawa Tengah yang dilakukan dengan hikmat dan sakral dalam rangkaiannya.
3.2 Saran
Kita sebagai generasi muda penerus
bangsa, harus melestarikan budaya negara kita sendiri, contohnya melaksanakan
upacara pernikahan adat.
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar