Isu perdagangan bebas ramai dibicarakan semenjak adanya persetujuan putaran Uruguay dalam GATT (General Agreement on Tariff and Trade) tanggal 15 Desember 1993 di Geneva & terbentuknya WTO (World Trade Organisation) di Maroko tahun 1994.
MEA (Masyarakat Ekonomi ASEAN) 2015 hanyalah salah satu pilar dari 10 visi mewujudkan ASEAN Community. Kesepuluh pilar visi ASEAN Community tersebut adalah outward looking, economic integration, harmonious environment, prosperity, caring societies, common regional identity, living in peace, stability, democratic, dan shared cultural heritage (Kementerian Luar Negeri, 2014). Dengan kata lain, keliru bila ada anggapan bahwa MEA 2015 adalah ambisi Indonesia dari pemerintah yang tidak jelas arahnya. Sejak dulu Indonesia memang sangat aktif memperjuangkan ASEAN sebagai masyarakat yang ”satu”. Ini antara lain dapat diidentifikasi dari pidato Presiden Soeharto pada pembukaan Sidang Umum MPR, 16 Agustus 1966 yang mengatakan, ”Indonesia perlu memperluas kerja sama Maphilindo untuk menciptakan Asia Tenggara menjadi kawasan yang memiliki kerja sama multisektor seperti ekonomi, teknologi, dan budaya. Dengan terintegrasinya kawasan Asia Tenggara, kawasan ini akan mampu menghadapi tantangan dan intervensi dari luar, baik secara ekonomi maupun militer,” CPF Luhulima, Jakarta Post, 7 Februari 2013. Dapat dikatakan bahwa Indonesia adalah inisiator dari terbentuk integrasi kawasan ASEAN. Hanya, perjalanan setiap negara dalam mempersiapkan diri untuk menghadapi ASEAN yang terintegrasi ini berbeda- beda. Ada negara yang dengan cepat bisa mempersiapkan diri, namun ada juga negara yang terlambat.
Karakteristik, ukuran ekonomi, dan permasalahan yang dihadapi setiap negara yang berbeda juga turut memengaruhi kecepatan setiap negara dalam mempersiapkan diri menghadap MEA 2015. Singapura adalah negara ASEAN yang dapat dikatakan paling siap menghadapi MEA 2015. Meski tidak yang paling tertinggal, Indonesia masih perlu kerja ekstra untuk menghadapi MEA 2015 ini. Ini mengingat dalam beberapa hal strategis, Indonesia relatif tertinggal.
Dengan adanya perdagangan bebas, usaha kecil di Indonesia harus tetap dapat menjadi salah satu pelaku penting sebagai pencipta pasar di dalam maupun di luar negeri dan sebagai salah satu sumber penting bagi surplus neraca perdagangan. Namun, untuk melaksanakan peranan ini, usaha kecil Indonesia harus membenahi diri, yakni meningkatkan daya saing global.
Data di Departemen Koperasi menunjukan adanya 38 juta usaha di Indonesia yang 98% di dominasi oleh usaha kecil menengah yang mempekerjakan 58 juta pekerja. Dalam dunia industri ternyata di dominasi oleh industri kecil dan rumah tangga sekitar 2,7 juta industri (dengan 6 juta-an pekerja), sedangkan industri besar dan menengah hanya berjumlah 23.000 buah (dengan 4 juta pekerja).
Memang industri rumah dan kecil ini hanya memutarkan 10% dari total uang yang berputar tetapi menghidupi sebagian besar rakyat kecil yang ada di Indonesia. Pemberdayaan usaha dan industri kecil dan rumah tangga akan menjadi kunci bagi kelangsungan hidup sebagian besar rakyat Indonesia.
Terhitung sejak 1 Januari 2010, Indonesia memasuki sebuah era baru perdagangan bebas yang telah disepakati bersama Cina dan negara-negara Asia Tenggara dalam sebuah pakta perjanjian bernama ASEAN-China Free Trade Agreement (ACFTA). Dengan perjanjian tersebut, semua negara yang terlibat di dalamnya diharuskan membuka pasar dalam negeri dan membuka kesempatan seluas-luasnya bagi negara lain untuk memasarkan produk-produknya melalui pembebasan bea masuk dan kemudahan regulasi lain.
Pemberlakuan perdagangan bebas dinilai oleh banyak pelaku usaha di Indonesia, baik skala besar, menengah, dan kecil, sebagai sebuah tamparan bagi keberlangsungan usaha mereka. Jika sebelumnya para pelaku usaha itu sudah bersaing mati-matian dengan serbuan produk dari Cina, kini mereka musti berjuang lebih keras lagi untuk bersaing dengan produk-produk dari Singapura, Thailand, Filipina dan negara-negara lain.
Harus diakui bahwa Indonesia masih memiliki banyak kelemahan pada sektor perindustrian yang perlu segera dibenahi. Beberapa indikator yang paling kentara adalah infrastruktur dan prasarana objektif lain yang belum memadai, tingginya biaya ekonomi dan kandungan impor serta penguasaan teknologi yang lemah. Kesemua poin minus tersebut kian menambah pesimisme dalam hal kesiapan Indonesia menghadapi era pasar bebas yang kini diberlakukan. Ditambah lagi dengan belum tuntasnya pekerjaan rumah yang harus diselesaikan oleh pemerintah, seperti langkah efisiensi ekonomi agar dapat menciptakan produk dalam negeri yang lebih kompetitif, efisiensi birokrasi, perbaikan infrastruktur, penurunan suku bunga dan penciptaan iklim investasi yang kondusif.
Terlebih bagi industri skala kecil dan menengah yang selama ini masih saja berkutat dengan bermacam kendala klasik yang belum juga terselesaikan, sudah pasti merasa cemas dengan keberadaan pasar bebas. Alih-alih melihat era pasar bebas sebagai tantangan (opportunity), mayoritas pelaku industri kecil dan menengah menganggapnya sebagai ancaman (threat). Apalagi dalam ACFTA tidak terdapat klausul perkecualian untuk sektor tertentu, artinya perjanjian ini mencakup semua sektor barang dan jasa tanpa kecuali.
Sejumlah pakar dan
pengamat ekonomi optimistis bahwa Indonesia mampu menghadapi Masyarakat ekonomi
ASEAN. Disela-sela peluncuran buku "Perdagangan Bebas Dalam Perspektif
Hukum Perdagangan Internasional" dan dalam siaran persnya di Jakarta,
Selasa (15/7/2014) Serian Wijatno dan Dr Ariawan Gunadi, SH, MH. mengungkapkan
bahwa Indonesia dapat menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN dengan strateginya
sebagai berikut: (a) Manfaatkan hambatan perdagangan untuk mengerem banjirnya
produk dan jasa asing (b) Ciptakan sumber daya pengusaha yang kompeten melalui
pendidikan dan pelatihan (c) Bentuklah forum sengketa perjanjian perdagangan
bebas dengan prosedur yang sederhana dan jelas sehingga kepastian hukum.
Sumber :